Perlukah Test Psikologi Untuk Memeluk Agama?


Sepanjang sejarah hidup manusia selalu ada tindak kekerasan antar umat manusia mulai dari kerusuhan kecil hingga perang besar. Terkadang hal itu mengatasnamakan agama. Padahal agama itu sejatinya harus dipakai sebagai “Rahmat Semesta Alam”. Diakui atau tidak dalam beberapa agama ada ayat-ayat tentang peperangan, tetapi tentu saja ayat-ayat itu berisi ajakan memerangi kesewenang-wenangan dan penindasan.

Tetapi terkadang ada suatu kekerasan yang mana terjadi tidak pada tempatnya yang sering kita dengar dengan istilah terorisme (baik individual, kelompok atau kenegaraan). Dan dalam definisi teror ini aku bagi dalam dua definisi yang berbeda. Pertama adalah teror non Fiksi. Dalam teror ini pelaku teror sudah tahu bahwa yang dilakukannya adalah salah dan perbuatannya adalah suatu kejahatan. Kedua adalah teror Fiksi, dimana pelaku teror menganggap yang dilakukannya adalah benar dan perbuatannya adalah untuk Tuhan. Misalnya dalam perang Salib, baik pihak Kristen atau Islam pasti sama-sama mengklaim yang dilakukannya adalah kebenaran.


Nah definisi yang kedua inilah (Fiksi) yang kadang menjadi sebuah dilema, apalagi jika dihubung-hubungkan dengan konteks agama. Seperti yang telah disebutkan diatas, bahwa dalam kitab suci suatu agama itu ada ayat-ayat yang keras (peperangan) tetapi konteksnya untuk memerangi keangkaramurkaan dan kezaliman. Yang mana ujung-ujungnya dari ayat diatas adalah menciptakan keamanan dengan melindungi kaum yang lemah sehingga tercipta rahmat semesta alam.

Diakui atau tidak hal ini terjadi karena ada faktor kejiwaan dalam pemeluk agama tersebut. Kita pasti tahu tentang sebutan “psikopat”. Dimana seorang yang menderita psikopat itu biasanya kelihatan baik & ramah. Orang yang menderita psikopat mungkin identik dengan kefanatikan, tetapi mungkin agak beda secara prinsip, dimana seorang fanatik bisa membedakan wilayah-wilayah yang boleh dilakukan dan tidak (dalam kekerasan). Sedangkan seorang psikopat kadang sudah tidak bisa membedakan antara boleh dan tidak (dalam kekerasan) dan cenderung untuk merusak. Dan perlu diketahui bahwa dalam kantor tempat kita bekerja sebenarnya banyak yang menderita psikopat dalam berbagai tingkatnya (menurut beberapa survey). Jadi coba anda bayangkan sendiri jika seorang psikopat memahami ayat-ayat peperangan (keras) tanpa penafsiran yang memadai, tentu yang ada cuma penghancuran dunia atas nama agama.

Ketika agama dipakai untuk kekerasan yang tidak pada tempatnya itulah maka agama telah dinodai. Ajaran yang agung menjadi terkesan menyeramkan. Agama yang seharusnya menjadi rahmat semsesta alam telah menjadi agama monster.

Bukan hanya kekerasan yang juga kita bahas disini, tetapi juga “Srigalanisme domba agama”. Apa maksudnya?. Maksudnya adalah melakukan tindakan merekrut orang untuk memeluk agama tetapi dengan penyogokan. Orang dicekoki materi, harta dan kebutuhan lainnya agar dia mau memeluk agama tertentu. Jika ini yang terjadi maka hanya akan memunculkan Agama Perut tanpa akal.

Yang lebih parah lagi adalah melakukan kebohongan publik tentang agama lain agar orang mau memeluk agamanya. Agama lain diopinikan sebagai agama yang kejam, rendah, bodoh tanpa argumen yang kuat agar orang meinggalkan agama tersebut dan ganti memeluk agama lain.

Dari pernyataan diatas, perlukah dilakukan test psikotest untuk memeluk sebuah agama, sehingga kemurnian dan keagungan agama tetap terjaga?. Jika perlu dilakukan test psikotest mungkin hasilnya banyak dari kita-kita ini yang belum berhak memiliki sebuah agama.