Umat Islam Terpecah Jadi 70 Golongan, Hanya Satu Golongan Yang Masuk Surga


Umat Islam terpecah menjadi 70 Golongan dan hanya 1 yang masuk surga, yaitu yang tetap berpegang pada jamaah (bukan berarti shalat berjamaah). Berjamaah disini artinya selalu memantapkan persatuan Islam. Kalau menurut aku mereka-mereka yang mengaku Islam tetapi tidak membuat-buat golongan lah yang merupakan jamaah. Jadi lebih baik tidak usah ikut tarekat-tarekat, aliran-aliran atau lainnya. Karena sekali ikut aliran maka anda akan memandang aliran yang lain berbeda. Yang satu maksudnya Satu Tuhan (Allah), Satu Nabi (Muhammad) dan satu kitab suci (Al-Quran), mereka yang mengadakan selain itu atau menyamakan bukanlah termasuk jamaah.

Umat Islam cenderung berpecah karena perbedaan fikih misalnya, menurut pemahamanku seharusnya umat Islam disuguhi berbagai macam fikih yang ada dan biarkan memilih yang sesuai dengan diri mereka tetapi tidak usah mengklaim sebagai aliran ini itu, bahkan kalau perlu kita bisa mengambil hal yang positif dari semua aliran yang ada dan tetap mengaku sebagai muslim, tetapi bukan mulsim mazhab A, B, C atau D. Inilah maksudnya Jamaah.

Kita misalkan di Indonesia memakai mazhab Syafiii, dan dari kecil sampai besar selalu didorong kearah mazhab ini, seharusnya di tiap negara harus diperkenalkan berbagai mazhab yang ada dan biarkan masyarakat memakai yang sesuai. Karena belum tentu semua beberapa masyarakat dalam suatu negara cocok dengan mazhab tertentu. Dan yang paling penting adalah selama semua mazhab itu sesuai Al-Quran. Dan hilangkanlah kefanatikan mazhab karena kefanatikan biasanya mudah untuk menyalahkan mazhab lain dan membuat perpecahan. Jika ada dari mereka dalam hal fikih yang menurut kita salah, selama mereka hanya mengaku Allah sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir jangan dibuat menjadi persengketaan, biarlah Allah nanti yang mengadili.

Nasikh bisa diartikan ayat yang membatalkan, mengganti, memindahkan atau menghapus dan Mansukh bisa diartikan sebagai ayat yang dibatalkan, diganti, dipindahkan atau dihapus.

[QS 2:106] Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

[QS 16:101] Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja”. Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.

Bermula dari ayat Al-Quran pada Surah Al-Baqarah 106 dan An-Nahl 101, maka para ulama terdahulu berbeda pendapat dan berseteru mengenai adanya ayat-ayat yang kemungkinan dibatalkan atau diganti di dalam Al-Quran. Dimana secara samar seolah-olah ada kontradiksi, padahal Al-Quran telah dijamin oleh Allah pada Surah 4:82, bahwa tidak ada kontradiksi di dalamnya. Dan semua yang diturunkan pada Al-Quran penuh kebaikan.

[QS 4:82] Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur’an ? Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.

[QS 41:42] Yang tidak datang kepadanya (Al Quraan) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.

Sebuah contoh adalah Ketika masih di Madinah Nabi Muhammad dan pengikutnya disuruh oleh Allah untuk bersabar dan menahan diri tapi saat di Mekah nabi dan pengikutnya diijinkan untuk berperang. Perintah ini dipahami olehh beberapa muslim secara samar seolah-olah ada pertentangan. Padahal jika kita cermati tak ada yang kontradisi dari ayat ketetapan diatas karena memang secara situasi dan kondisi saat itu berbeda. Jika kita memahami Al-Quran dengan konteks maka kita bisa memahami bahwa perubahan perintah berkaitan dengan perubahan situasi, yang mana jika situasinya sudah normal bisa kembali ke ayat awal.

Sebenarnya orang-orang yang mempermasalahkan perubahan aturan dalam Al-Quran hanyalah orang-orang yang terlalu kaku dalam memahami Wahyu Allah, seakan akan wahyu Allah itu tak akan berubah (qat’i). Itulah mengapa Kaum Yahudi susah menerima Islam karena mereka beranggapan Wahyu Tuhan tak akan berubah, sehingga menurut mereka apa yang ada di Taurat pun tak akan berubah. Hal itu karena Yahudi kemungkinan terlalu fokus ke fikih yang mana Yesus sendiri mengatakan bahwa 1 iota atau 1 titik pun tak akan berubah dari Taurat (Matius 5:17-18,) maksudnya meski hukum Allah di Taurat dan Injil sudah ada yang dirubah-ubah oleh tangan manusia, Hukum Allah yang asli masih ada disisi Allah yang mana tak akan berubah. Dari sini sebenarnya kita bisa memahami bahwa wahyu Tuhan tentang fikih bersifat melengkapi. Jika hukum Taurat (yang asli) tidak hilang, maka hukum selanjutnya yang dibawa Yesus dan Muhammad bersifat menggenapi (Matius 5:17, Yoh 14:16,26, Yoh 16:7) . Nabi Muhammad sebagai penggenap telah disebutkan dan di informasikan dalam Kitab Taurat maupun Injil. Wahyu Allah yang tak akan berubah (qat’i) adalah Tauhid sedangkan yang berhubungan dengan fikih tentu akan menyesuaikan situasi dan kondisi.

Sebenarnya jika kita cermati soal Nasikh Mansukh, hal itu merupakan inti dari ajaran Islam itu sendiri. Dimana Islam merupakan ajaran yang sesuai fitrah manusia dan fleksibel. Islam adalah agama yang mendasarkan diri pada Niat. Bahwa segala sesuatu tindakan dan perbuatan tergantung dari niat. Dan juga Islam adalah agama yang menekankan manusia untuk berbuat sebaik mungkin. Makin baik makin bagus. Muslim yang baik akan lebih cenderung memilih yang Jelas (Muhkamaat) dan meninggalkan yang samar (Mutasyaabihaat). Bahwa sesuatu yang halal jika dilakukan dengan berlebihan bisa menjadi haram. Bahwa sebenarnya aturan Allah itu tidak selamanya kaku tetapi bisa lentur, tetapi diantara kelenturan kita diarahkan untuk memilih yang lebih baik. Seperti sabda Nabi yang mengatakan agar kita menjauhi yang meragukan.

[QS 7:31] Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

[QS 2:173] Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[QS 3:7] Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mu-tasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.

Diriwayatkan dari Abu Abdillah An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya perkara yang halal itu jelas, dan perkara yang haram juga jelas. Dan di antara keduanya terdapat hal-hal yang samar dan meragukan. Banyak orang yang tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang menjaga dirinya dari hal-hal yang samar dan meragukan itu maka niscaya akan terpelihara agama dan harga dirinya. Dan barangsiapa yang nekad menerjang hal-hal yang samar dan meragukan itu maka dia terjerumus dalam perkara yang diharamkan. Sebagaimana halnya seorang penggembala yang menggembalakan hewannya di sekitar daerah larangan, hampir-hampir saja dia memasukinya. Ingatlah, sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Apabila daging itu baik maka baiklah seluruh anggota badan. Dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh anggota badan. Ketahuilah segumpal daging itu adalah jantung.” (HR. Bukhari [52] dan Muslim [1599]).

Hadits Rasulullah : “Apa yang dihalalkan Allah di dalam kitab-NYA adalah halal. Apa yang diharamkan-NYA adalah haram, dan apa yang didiamkan-NYA merupakan kemurahan (Allah). Maka terimalah kemurahan-NYA. Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa akan sesuatu” (HR Abu Darda-Thabrani -Al Hakim)

Sungguh terasa dada ini sesak jika melihat banyak muslim antar mazhab atau aliran (yang masih sama-sama bernabi pada Nabi Muhammad) saling serang di berbagai Blog. Padahal dasar yang mereka pakai lebih banyak menggunakan berbagai hadits yang belum tentu Shahih kualitasnya. Dampak dari sini adalah terpecahnya Muslim dalam berbagai golongan yang susah untuk bersatu. Ada perbedaan yang terjadi karena perbedaan penafsiran Al-Quran dan ada perbedaan karena menggunakan hadits yang berbeda-beda.

Sebenarnya Allah sangat tidak menyukai perbuatan ini. Allah tidak menyukai orang-orang Islam yang menggunakan perbedaan untuk perpecahan. Karena seharusnya perbedaan itu malah menambah persatuan. Selama perbedaan itu hanya bersifat Fikih yang tidak jelas hukumnya dari segi Al-Quran atau hadits, bukan akidah Tauhid. Sedangkan jika hukum itu sudah jelas tetapi dicari-cari perbedaannya maka ini adalah suatu dosa. Kadang ada golongan Islam merendahkan atau mencela golongan Isalm lain hanya karena fikih yang mereka jalani yang mana belum jelas hukumnya. Allah berfirman :

[QS 6:159] Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.

[QS 42:13] Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).

[QS 49:11] Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.

Perbedaan dalam penafsiran Al-Quran selama bukan yang bersifat Tauhid tidaklah masalah, karena kemungkinan saat mereka memahami ayat mereka mengalami konteks hidup yang berbeda sehingga menimbulkan pemakaian fikih yang fleksible. Sedangkan jika hadits yang digunakan berbeda maka gunakanlah hadits yang lebih universal dan kembali kepada Al-Quran. Allah berfirman :

[QS 4:59] Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Bagaimanapun yang namanya perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dan tidak akan bisa dihindarkan. Karena perbedaan pendapat tidak hanya terjadi diantara manusia tetapi juga terjadi diantara para malaikat. Allah berfirman :

[QS 38:69] Aku tiada mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang al mala’ul a’la (malaikat) itu ketika mereka berbantah-bantahan.

Itulah mengapa Allah menyikapinya sebagai salah satu ketetapan_NYA bahwa perbedaan adalah masalah yang memang bagian dari kehendak_NYA. Dan Allah menunjukkan cara terbaik dalam menghadapi perbedaan ini. Dan menghukumi mereka yang tidak mau mencari jalan tengah dalam perbedaan. Allah berfirman :

[QS 11:118-119] Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka (orang yang diberi rahmat untuk bersatu). Kalimat Tuhanmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya.

[QS 4:59] Hai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan ta’atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Dari sini kita bisa memahami bahwa pangkal perbedaan pendapat dikalangan Muslim adalah pada apa yang didiamkan Allah (tak jelas apakah halal atau haram, atau apakah perlu atau tidak). Jika memang Allah mendiamkan, bukankah kita tidak sepantasnya menganggap jalan apa yang dipilih seorang Muslim dalam diamnya Allah itu sebagai kesalahan. Sehingga kita bisa saling menghargai dan menghormati dalam diamnya Allah.

Diamnya Allah bisa kita pahami sebagai berikut “Jangan mempermasalahkan sesuatu yang sebelumnya tidak di tetapkan hukumnya”. Disini boleh dikatakan bahwa kita tidak diperbolehkan terlalu banyak berprasangka terhadap hal yang didiamkan Allah (QS 49:12). Untuk memahaminya kita bisa melihat apa yang dilakukan oleh orang Yahudi sebagai berikut :

[QS 6:143] (yaitu) delapan binatang yang berpasangan, sepasang domba, sepasang dari kambing. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan Allah ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya?” Terangkanlah kepadaku dengan berdasar pengetahuan jika kamu memang orang-orang yang benar,

[QS 6:144] dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah: “Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan ?” Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Kaum Yahudi bertanya semisal tentang bagaimana bentuknya, bagaimana warnanya?..bagaimana?…dan bagaimana?. Seandainya mereka langsung menyembelih lembu yang mana saja setelah perintah yang pertama, niscaya sudah cukup.

Nabi Muhammad dalam beberapa sunahnya mengajarkan tentang masalah fikih. Apakah fikih nabi itu subyektif ?.

Sekiranya sunah nabi itu ada dasar dalam Al-Quran tentu fikih nabi itu obyektif. Tapi jika tidak ada dasarnya apakah fikih nabi itu subyektif?.

Fikih subyektif berarti bahwa boleh tidaknya atau halal haramnya sesuatu itu ditentukan seberapa dalam tingkat kejiwaan dan psikologis nabi tanpa melihat tingkat kejiwaan dan psikologis pengikutnya.

Itu berarti nabi akan berkata A jika hati nabi mengatkan A. Padahal A bagi nabi mungkin secara nilai beda dengan A bagi pengikutnya. Boleh dibilang bagi nabi A itu bernilai 100, tapi pengikutnya mungkin ada yang tidak bisa mencapai nilai 100 itu. Anehnya mengapa banyak umat Islam yang terkesan untuk memaksakan setiap muslim untuk mencapai nilai 100?. Sehingga umat Islam terpecah belah hanya gara-gara perbedaan nilai A itu.

Saat menyampaikan sunah beliau, tentu nabi tidak gegabah untuk hanya menetapkan 1 hukum fikih. Itulah mengapa kita banyak menemukan hadits-hadits yang berbeda-beda. Karena jika nabi menetapkan 1 hukum fikih dengan subyektifitas yang absolut, maka mau tidak mau terpaksa atau tidak kita harus mengikuti sunah nabi secara subyektif. Dan itu akan terkesan berat bagi sebagian muslim.

contohnya begini:
Ada sebuah sungai yang harus diseberangi. Nabi secara pribadi (subyektif) lebih suka berenang karena beliau bisa berenang dan secara nilai lebih tinggi. Jika nabi memaksakan Subyektif -Absolut dalam fikih menyeberangi sungai, maka pasti nabi ingin semua muslim menyeberangi sungai dengan berenang. Tentu kita tahu tidak semua manusia bisa berenang. Jika fikih ini dipaksakan bisa menenggelamkan mereka yang tidak bisa berenang (berarti membunuh). Tentu fikih nabi ini sangat tinggi nilainya, tapi berhubung tidak semua bisa berenang, maka ada yang memakai kapal, lewat jembatan dll.

Dari dasar itu marilah semua kaum muslim untuk membuka pikiran kita agar lebih cerdas dalam melihat berbagai hadits yang ada tentang fikih sehingga kita tidak menghakimi dan menganggap sesat muslim lain hanya gara-gara perbedaan fikih. Karena hal itu akan menghapuskan kesan Islam sebagai agama fitrah dan rahmatan lil alamin.

[QS 11:118] Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, ...

[QS 11:119] kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu…

Orang yang diberi rahmat itu harus bisa menjalankan Islam yang Rahmatan Lil Alamin, Bukannya membuat perpecahan. Disini harusnya para muslimin dalam melihat konteks suatu hadits selalu memperhatikan untuk siapa hadits itu. Tentu tidak semua orang Islam bisa digeneralisasi setuju terhadap 1 hadits.

Jadi disini kondisi fisik dan kejiwaan (psikologis) juga harus dipertimbangkan apakah cocok dengan hadits tertentu. Kalau tidak maka dicarikan hadits lain yang lebih cocok. Kalau tidak ada mungkin perlu dilakukan Ijtihad.

Hadits :
Umat ini (Islam) akan berpecah-belah menjadi 70 lebih golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu akan masuk surga.
  
Umat Islam terpecah menjadi 70 Golongan dan hanya 1 yang masuk surga, yaitu yang tetap berpegang pada jamaah (bukan berarti shalat berjamaah). Berjamaah disini artinya selalu memantapkan persatuan Islam.  Yang SATU maksudnya Satu Tuhan (Allah), Satu Nabi (Muhammad) dan satu kitab suci (Al-Quran), mereka yang mengadakan selain itu atau menyamakan bukanlah termasuk jamaah.