Alasan Film Nabi Muhammad Dilarang


Sepanjang sejarah banyak sekali di dunia maya (internet) orang yang menggambar bahkan mengkartunkan para nabi, tidak hanya nabi Muhammad tetapi juga yang lain seperti nabi Musa, dll. Di bagian lain ada juga yang memfilmkan Tuhan, semacam film litle Khrisna.

Di era media sekarang ini film merupakan salah satu cara berdakwah yang sangat ampuh, banyak sekali film-film tentang nabi dibuat dengan aktornya masing-masing. Untuk agama Islam selalu ada kendala untuk membuat film tentang nabi Muhammad. Dalam agama Islam khususnya menggambar bahkan mengkartunkan nabi Muhammad sangat dilarang. Dengan alasan merendahkan, bisa menjadikan syirik atau sebagainya. Bayangkan anda mempunyai poster nabi Muhammad dikamar anda, tentu anda akan berlaku syirik kepadanya.

Dalam sebuah kesempatan dialog pernah terjadi perdialogkan tentang film Nabi Muhammad. Bolehkah sang nabi di aktorkan?. Dan hampir 90% menjawab tidak boleh alias dilarang.  Lantas pernah terbesit pemikiran apa bedanya Nabi Muhammad dan Al-Qur'an?. Anda kaum muslim tentu mempunyai Al-Quran, apakah anda menganggapnya suci?. Tentu jawabannya iya. Lantas dimana letak kesuciannya?.

Al-Quran merupakan buku yang berisikan ayat-ayat suci. Tahukah anda bagaimana buku dibuat dan bagaimana ayat-ayat Al-Qur'an dicetak?. Nah jika kita amati maka kesucian itu adalah apa yang terlafal dari huruf-huruf Arab di buku tersebut. Bukan bukunya, bukan tulisannya tetapi lafalnya. Sehingga nabi Muhammad bisa kita katakan Al-Quran yang berjalan. Karena tingkah laku beliau bernafaskan Al-Quran.

Pernah ada suatu pertanyaan, jikalau anda sebagai umat Islam mempunyai kerangka nabi Muhammad, apa yang anda lakukan. Apakah anda akan mensucikannya, menyembahnya atau anda anggap itu adalah kerangka seperti kerangka manusia lainnya dan menguburnya dengan baik?. Anda bisa menyamakan pertanyaan ini dengan buku Al-Quran diatas. Kita anggap jasad nabi Muhammad adalah Buku Al-Quran. Memang benar banyak penghafal Al-Quran, tetapi penghafal Al-Quran beda dengan Nabi Muhammad sebagai penerima Wahyu. Penghafal Al-Quran belum tentu bisa membawa nafas Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga belum tentu sebagai Al-Quran yang berjalan.

Jika umat Islam bisa memahami hal diatas, tentu tidak akan cepat emosi jika ada yang mengkartunkan atau menggambarkan. Tentu bisa protes tetapi tidak perlu dengan emosi sampai melakukan kekerasan yang mana malah mengotori ajaran Islam itu sendiri.

Nah kembali ke masalah membuat film nabi Muhammad, apakah ada solusi?. Yang perlu digaris bawahi disini adalah kita harus tahu perbedaan menggambarkan nabi dan meng-aktorkan nabi. 

Cara berfikirnya begini. Ada seorang ustadz sedang menceritakan kisah nabi kepada para jamaah. Ketika menceritakan itu terkadang ustadz tersebut melakukan action seolah-olah dirinya sebagai nabi. Tentu kita paham bahwa itu seorang ustad dan bukan bermaksud menyejajarkan dengan nabi.==>inilah diaktorkan. Itu kembali lagi ke kita tentunya…semua tergantung niatnya. Kalau anda mengakui aktor itu sebagai nabi itu malah dosa dan ini termasuk menggambarkan seperti sebuah lukisan. Tentu kita yang sudah dewasa ini harus semakin kritis bukan

Sedangkan kalau digambarkan dalam lukisan itu seolah-olah anda mengakui lukisan itu sebagai jatidiri sang nabi. Makanya kalau ada yang mengkartunkan nabi itu namanya mendustakan. sedangkan kalau menggambar wajah asli nabi itu namanya merendahkan karena hasil gambar bisa dianggap sebagai barang kramat.

Dalam pemahamanku sebenarnya selama mengaktorkan tidak bertentangan dengan ajaran Al-Quran tidak jadi masalah. Karena film itu ibarat buku. Saat kita membaca sejarah nabi di buku, itu seperti ketika kita melihat film. Jangan membuat film yang isinya bertentangan dan melecehkan agama.

Adapun latar belakang atau dasar dan alasan yang paling kuat mengapa film tentang nabi, baik nabi Musa, Isa khususnya nabi Muhammad tidak boleh dibuat sebenarnya adalah sebagai berikut: Bicara tentang theologis sedikitpun tidak boleh ada kebohongan, bukan hanya untuk aktornya tapi juga situasinya. Hal ini sangat berpengaruh terhadap masing-masing orang yang melihatnya. Misalkan ada suatu adegan di sebuah rumah dengan bermacam-macam benda yang ada didalamnya, meskipun sosok nabi disitu tidak ditampakan tapi penonton akan terbawa kepada suasana lain karena benda-benda itu. Padahal kenyataan yang sebenarnya belum tentu benda-benda itu ada pada waktu nabi di rumah itu. Jadi kita tidak mungkin menghadirkan suasana saat nabi masih hidup 100%.