Pada artikel ini aku coba memahami jati diri dari agama Tao dan Konfusius. Apakah kedua ajaran ini ada sisi-sisi nilai ilahinya?. Jadi sekiranya ada yang keliru mohon dimaafkan.
Periode
antara tahun 550 SM sampai 200 SM dalam sejarah dikenal jaman klasik,
yang melahirkan “ratusan filsuf”, antara lain: Konfusianisme, dan
Taoisme. Meski secara umum kita memandang masyarakat China dalam ibadat
dan keyakinan terpengaruh ajaran dewa – dewi dan berbagai bentuk
berhala, tetapi mari kita mencoba mencari kemurnian dalam ajaran mereka.
Kong Hu Chu (Konfusius) bersabda “Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut”
. Disini kita bisa memahami bahwa sebenarnya Kong Hu Chu bukanlah
pencipta pertama dari ajaran Konfusius. Tetapi ada ajaran-ajaran
sebelumnya. Jika anda selesai membaca artikel ini bisa kita simpulkan
bahwa Kong Hu Chu atau Tao juga tidak lepas dari pengaruh Nabi Ibrahim (Baca Disini)
Di
Agama Konfusius juga dikenal adanya rukun iman dimana Iman kepada Tuhan
Yang Maha Esa (Cheng Xin Huang Tian), merupakan urutan pertama dalam 8
rukun iman mereka. Dan kemungkinan ajaran murni Konfusius juga
monotheisme sejati. Apa yang berkembang saat ini sudah mengalami
beberapa perubahan. Diantaranya adanya konsep dewa-dewi.
Di dalam literatur-literatur klasik Cina, kata Taoisme pertama kali ditemukan di dalam tulisan-tulisan Shi Chi (catatan -catatan sejarah) yang ditulis oleh Ssu-ma Ch’ien (145-867 BC), yakni empat ratus tahun setelah kematian Lao Tzu.
Jika
kita membaca tentang Tao kita bisa merumuskan bahwa di dalam Tao
terdapat ajaran “Etika Hidup” dan juga ada ajaran “Ke-Tuhan-an” yang
samar. Boleh dibilang Tao merupakan hasil perenungan dan pemikiran dari
pendiri agama tersebut yaitu Lao Tzu. Tao ibarat perjalanan Lao Tzu
dalam mencari Tuhan.
Disinilah
perbedaan mendasar antara agama Tao dan agama lainnya khususnya agama
Semit. Agama Semit merupakan agama yang mana Wahyu Ilahi diturunkan atas
para nabi. Sedangkan Tao lebih dari pencarian agama sejati oleh
seseorang yang bernama Lao Tzu, dimana petunjuk ketuhanan tidak
diturunkan dari Tuhan tetapi didapat atas hasil pencerahan, seperti yang
Budha lakukan. Yang mana bisa kita simpulkan bahwa jika kita
bersungguh-sungguh mencari Tuhan dengan perenungan akal maka pada akhir
pemikiran apa yang kita dapatkan akan sama dengan apa yang Tuhan
ajarkan.
Lao
Tzu dalam perenungan dan pemikirannya menyatakan bahwa segala sesuatu
di dunia ini mengandung dua unsur yang saling berlawanan, dan setiap
unsur yang berlawanan tersebut saling tergantung satu sama lain. “Sebab
Akibat”
Dalam
Metafisika Taoisme, Lao Tzu yang merupakan pendiri Tao menganggap bahwa
Tao adalah “sumber umum bagi seluruh alam semesta”. Tao sebagai “asal
usul yang unik dari dunia”. Lao Tzu secara eksplisit mengatakan “ Tao
menghasilkan yang satu, yang satu menghasilkan yang dua, yang dua
menghasilkan yang tiga dan yang tiga menghasilkan sepuluh ribu hal
lainnya.
Yang
Satu (The one), menghasilkan yang dua dimana yang dua ini meliputi sisi
feminin dan maskulin (Yin & Yang/ Positif & Negatif). Yang tiga
merupakan kesatuan antar Yin dan Yang. Dan dari yang tiga (Yin &
Yang) menghasilkan sepuluh ribu hal lainnya yang mana dari yang tiga
inilah merupakan asal mula alam semesta menurut versi Taoisme.
Lao
Tzu sangat yakin, bahwa Tao bersifat universal. Segala sesuatu berasal
dari Tao, dan merupakan pengembangan dari Tao itu sendiri. Tao, dengan
demikian, juga merupakan proses yang bersifat universal dan prinsip
tertinggi. Ini adalah ontologi yang paling mendasar dari Taoisme.
Tao
juga memiliki sifat yang misterius. Lao Tzu menulis “Kita memandang
Tao”, “tetapi tidak melihatnya… kita mendengar Tao tetapi tidak
mendengarkannya…Kita menyentuhnya tetapi tidak menemukannya… Bergerak ke
atas, tetapi tidak terang, dan bergerak rendah ke bawah, tetapi tidak
gelap. Tidak terbatas… dan tidak bisa diberikan nama apapun.“ Tao
tidaklah bisa dimengerti dengan akal budi dan panca indera manusia,
tetapi Tao itu adalah nyata adanya (real being). Tao berada di level yang melampaui pengetahuan biasa yang diperoleh melalui intelek manusia.
Dari paparan diatas kita peroleh :
- Yang Satu (The One) = Tao
- Yang Dua (Yin & Yang) = Firman
- Yang Tiga (Kesatuan Yin & Yang) = awal alam semesta
- Segala sesuatu berasal dari Tao
- Tao tak bisa dipahami (tak ada yang setara) tetapi Tao ada
Jika
kita perhatikan 5 paparan diatas, maka bisa kita baca bahwa itu
merupakan Konsep Ketuhanan hakiki yang dimiliki oleh setiap agama besar.
Seperti
telah dijelaskan pada awal artikel bahwa Tao merupakan cara Lao Tzu
dalam menemukan Tuhan. Tao dapatlah diketahui melalui intuisi, dengan
pengajaran dan pembelajaran dari hari ke hari. Untuk menyadari
keberadaan Tao, orang haruslah bergerak melampaui kemampuan kognitif
mereka. Pengenalan atas Tao membutuhkan lebih dari sekedar „ketrampilan
kognitif biasa yang dimiliki oleh orang pada umumnya. Sehingga kita bisa
melihat Surga dalam hidup di dunia.
Meski begitu ada perbedaan mendasar mengenai Konsep Tao ini. Lao Tzu mengatakan :
- Tao bergerak secara alami dan spontan.
- Tao tidak memiliki kehendak ataupun tujuan.
- “Manusia”, demikian Lao Tzu, “mendapatkan modelnya dari bumi, bumi dari surga, surga dari Tao, dan Tao dari spontanitas.
- Tao “menyelesaikan tugasnya, tetapi tidak mengklaim kredit darinya. Tao memberikan pakaian dan makanan kepada semua hal tetapi tidak mengklaim menjadi penguasa atasnya.
- Tao selalu bergerak tanpa keinginan…
- Segala sesuatu datang kepadanya dan Tao tidak menguasainya;”
- Tao bergerak secara alami. Akan tetapi, Tao bukanlah seperti Tuhan yang menciptakan dunia dengan tujuan tertentu.
Dari
7 paparan diatas tampak jelas perbedaan antara ajaran Tao dan ajaran
agama Semit dan Vedic. Ajaran Tao memandang Tuhan (Tao) sebagai sesuatu
yang spontanitas, apa adanya tanpa keinginan sesuatu melainkan apa yang
terjadi dengan sendirinya. Sedangkan dalam agama Semit dan Vedic Tuhan
(Tao) sebagai yang Maha Menguasai dan Maha Berkehendak. Dari sini tampak
jelas sekali bahwa Tao merupakan hasil pemikiran dan bukannya wahyu
Tuhan.
Di dalam Konfusianisme oleh Kong Hu Chu (551 SM – 479 SM) , Tao adalah prinsip umum yang mengatur moralitas , sementara Te
adalah keutamaan individual. Akan tetapi, bagi Lao Tzu, Tao adalah
realitas yang paling utama sekaligus prinsip umum dari alam semesta.
Sementara, Te
adalah partikularisasi dari Tao yang terwujud dalam diri seseorang,
ketika ia hidup sesuai dengan Tao. Te adalah kekuatan baik dari luar
atau dalam Tao yang menyelimuti segenap aspek di alam raya ini. Jadi Te
pada hakikatnya identik dengan Religiusitas (yang bersifat ilahi) dalam
sesuatu baik manusia atau makhluk lainnya.
Ada sebuah dasar pengandaian etika Taoisme yang merupakan Aforisme Cina “Malapetaka adalah sesuatu yang menjadi dasar bagi kebahagiaan; kebahagiaan adalah ketika malapetaka menjadi tersembunyi.” memiliki konsep yang hampir sama dengan Islam dalam Al-Quran
Surah Alam Nasyrah 94 :5-6 “Karena sesungguhnya sesudah (didalam)
kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah (didalam) kesulitan
itu ada kemudahan”
“Untuk
memperoleh sesuatu”, demikian Lao Tzu, “adalah perlu bagi orang untuk
pertama-tama memberi.”Jadi, untuk mencapai sesuatu, orang harus
pertama-tama memulai dengan yang berlawanan dari yang ingin dia capai.
Dengan demikian, esensi dari pendekatan Lao Tzu adalah “dengan mulai
mengejar tujuan dari titik yang secara diametral bertentangan dengan
tujuan itu.” Konsep ini hampir identik dengan Konsep agam Budha bahwa
untuk mencapai Nibbana maka diperlukan nafsu.
Tao memiliki beberapa konsep, diantaranya :
Wu Wei
= Kelembutan sebagai tujuan utama, dimana kekerasan hidup ini dijalani
dengan penuh kelembutan. Hidup mengalir saja tanpa dibentuk hukum atau
aturan. Sebagai bentuk pasrah terhadap hidup yang dijalani. Wu Wei lebih
bersifat Filsafat Tao.
Yu Wei = Tindakan, bahwa hidup perlu aturan dan hukum. Disini Yu Wei lebih mendekati sebagai Agama Tao
Tzu Jan
= Spontanitas. Bahwa hidup ini spontan (alami).Kepercayaan bahwa alam
semesta dan kehidupan sosial akan berkembang secara spontan”, demikian
tulis Xiaogan, “adalah fondasi dari teori etika wu-wei, sekaligus fondasi dari filsafat Tao.
Dari ketiga Konsep Tao, yang paling utama adalah Wu Wei. Wu-wei
sangat menekankan nilai-nilai spesifik, seperti pasivitas, sikap
mengalah, dan ketenangan. Menurut Lao Tzu, nilai-nilai ini sangatlah
penting, terutama bagi orang-orang yang lemah dan tidak beruntung di
dalam hidupnya. Dengan menerapkan wu-wei
di dalam hidupnya, orang-orang yang lemah bisa menaklukan orang-orang
yang kuat dengan kelembutannya. Inilah keuntungan dari sikap wu-wei.
“Hal yang paling lembut di dunia”, demikian Lao Tzu, “dapat melampaui
hal yang paling keras di dunia… melalui inilah saya mengetahui
keuntungan untuk tidak mengambil tindakan apapun.” Itulah mengapa dalam
agama Tao, Hindhu atau Budha para pemimpin agamanya lebih
individualistik dan tidak terlalu campur tangan dalam masalah sosial dan
masyarakat. Hal ini juga dapat kita temukan dalam ajaran Kristen di
Bible sebagai berikut :
“Tetapi
Aku berkata kepadamu : Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat
kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga
kepadanya pipi kirimu…Tetapi Aku berkata kepadamu : Kasihilah musuhmu
dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu,” (Matius 5:39-44).
Islam
memadukan Wu Wei dan Yu Wei, dimana kelembutan dan kedamaian merupakan
langkah utama yang diambil, tetapi diperlukan Yuwei jika keadaan
terancam. Dimana inilah yang disebut Jihad, sebuah bentuk perjuangan
membela diri. Bahwa Kita harus membalas jika kita di salahi tetapi jika
memaafkan maka itu lebih baik. Misalnya ayat berikut :
[Al-Quran 3:159]
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu
ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
Tetapi
pada kenyataannya Wu Wei dan Yu Wei memang tidak bisa berdiri sendiri.
Kita tidak bisa melulu mengalah, tetapi juga harus membela diri.
Keduanya saling menyatu, seperti halnya konsep Islam diatas. Lao Tzu
bersikap kritis terhadap penguasa pada jamannya, dan juga terhadap
nilai-nilai Konfusianisme tradisional. Berpendapat bahwa masyarakat akan
jauh lebih baik, jika semua bentuk aturan, moralitas, hukum, dan
penguasa dihapuskan. Di sisi lain, para pemuka agama Taoisme sangat
menghormati penguasa dan aturan-aturan Konfusianisme. “Orang-orang yang
hendak memiliki keabadian”, demikian tulis Ko Hung (284-343), seorang
pemuka agama Taoisme, “haruslah menempatkan kesetiaan kepada penguasa
dan kesalehan yang tulus kepada orang tua mereka sebagai prinsip dasar.
Sedangkan kita ketahui yang namanya Penguasa selalu identik dengan Hukum
dan Aturan.
Konfusianisme
merupakan konsep hidup yang hampir mirip dengan Islam dimana Wu Wei dan
Yu Wei saling berhubungan. Dimana ada aturan yang tegas didalam sikap
lemah lembut kia kepada orang-orang yang melanggar aturan dan bersalah.
Ajaran utama konfusianisme adalah “yen” dan “li”. Yen secara umum diartikan sebagai cinta, atau lebih luas lagi keramahtamahan. Sedangkan li
dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku, ibadah, adat
kebiasaan, tatakrama dan sopan santun. Nilai-nilai lainnya dalam ajaran
Konfusius adalah kebajikan dan kebenaran.
”K’ou
Ch’ien Chih, seorang pemuka agama Toaisme lainnya, juga berpendapat
bahwa setiap orang haruslah mempelajari Konfusianisme, serta secara
aktif membantu kaisar di dalam mengatur dunia. Dari sini bisa
disimpulkan bahwa Wu Wei dan Yu Wei tidak bisa berdiri Sendiri.
Pada
prinsipnya Tao lebih condong ke konsep “mengalah” dan Konfusius lebih
condong ke konsep penegakan “hukum dan aturan”. Surah Al-Quran 3:159
diatas jika ditafsirkan lebih mendalam merupakan inti dari kombinasi
ajaran Tao dan Konfusius.