Islam Yes Arab No?. (Menghilangkan Stigma Arabisasi Islam)

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEivHLmNSGAq6Sw4NAkmToP_zjUTQRP6XX6s3Rstrwvc7cLqxO_e0irxBALnszhPVLSxcqjpLn3rT5U5x2fdLayp3nT2Xlwvu5Xi6zbEkS0PLpb-UjJ1YVP59aV8knCq7TCD8FEYBVrhYzvJ/s1600/tumblr_m1knypBT0m1qi4d1uo5_1280.jpg

Mungkin benar “terutama di Indonesia” masih belum bisa memisahkan antara Arab dan Islam. Hal itu karena Islam yang dibawa Nabi Muhammad lahir di Arab, berbahasa Arab dan bertuliskan Arab. Sehingga apa-apa yang bertuliskan Arab dianggap bagian dari Islam. Padahal orang Kristen Arab juga berbicara dan menulis dengan tulisan Arab, itulah mengapa terkadang kaligrafi Arab dianggap bagian dari Al-Quran padahal isinya adalah ajaran Kristen.


Sebelum Nabi Muhammad lahir Islam merupakan agama yang sudah ada sebelumnya. Islam mulai disebarkan oleh nabi Ibrahim Baca Disini , dan terus diteruskan oleh anak cucu Nabi Ibrahim melalui garis keturunan Ishaq yang berakhir kepada Nabi Isa (Jesus) Baca Disini, dan melalui garis keturunan Nabi Ismail yang berakhir kepada Nabi Muhammad sebagai penutup garis nabi Ibrahim.

[Al-Quran 12:2] Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur'an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

Ayat diatas mengandung arti bahwa Nabi Muhammad menyampaikan Al-Quran dalam bahasa Arab, mengapa?. Karena kaumnya saat itu adalah bangsa Arab. Tidak mungkin nabi Muhammad berbicara dalam bahasa Eskimo.

Nah menyinggung masalah Eskimo, seandainya nabi Muhammad diturunkan di daerah Eskimo, apakah kita harus memakai baju dan membentuk rumah layaknya orang eskimo?. Tentu tidak. Bayangkan memakai baju ala eskimo di tengah padang pasir, bisa-bisa tubuh ini matang direbus. Dari sini kita bisa berfikir bahwa Islam tidak dibatasi budaya. Dalam artian budaya yang berasal dari bangsa Arab tidak harus dipakai oleh bangsa lain sebagai bagian Islam.

Yang jelas Islam memiliki batas-batas yang jelas. Misalnya tentang berpakaian Islam memberi batasan bagaimana wanita harus berpakaian BACA DISINI (tak harus bermodel sama). Sebagaimana kita ketahui pakaian muslim ala Indonesia dan Arab pun beda, misalnya di Indonesia memakai sarung tetapi di Arab tidak. Yang penting tidak keluar dari adab berpakaian. Kalau masalah adab, bangsa manapun yang memiliki adab, selama itu baik dan tidak merusak moral (menimbulkan nafsu negatif) merupakan bagian dari kekayaan Islam. Jadi Islam ada dimana-mana demikian juga halnya Setan (sisi negatif) yang ada dimana-mana.

Berhubung Wahyu Al-Quran turun dalam bahasa Arab maka muncul juga pemikiran di beberapa kalangan. Pemikiran itu antara lain apakah wahyu Tuhan itu hanya sebatas makna atau makna dan lafadz Arabnya. Para imam pun berbeda pendapat soal hal ini. Imam Hanafi menganggap bahwa “makna” lebih bersifat wahyu, sedangkan imam Syafi'i menganggap wahyu merupakan “makna dan lafadz Arabnya”.

Mungkin pendapat Imam Hanafi lebih bisa dipakai sebagai jawaban bahwa Wahyu adalah “makna” tak mencakup lafadz, mengapa?. Karena di dalam Al-Quran terdapat banyak kisah-kisah nabi Allah sebelumnya dari jaman Nabi Ibrahim, Musa dan Isa. Sebagian cerita tersebut tentu dilafadzkan dalam bahasa kitab suci sebelumnya sebelum turun Al-Quran dimana bukan bahasa Arab. Dan secara makna kisah-kisah tersebut diulang lagi di dalam Al-Quran. Selain itu bahasa Arab juga mengalami perkembangan dalam penulisan, dari yang semula memakai tulisan sederhana menjadi tulisan yang dipakai sekarang.

Tetapi meski demikian bukan berarti kita mengesampingkan bahasa dan tulisan Arabnya (terutama lafadznya). Hal ini penting untuk menjaga keaslian lafadz karena hal ini berguna dalam menterjemahkannya (mencari pemahaman yang tepat). Apalagi lafadz Al-Quran bagian dari bacaan Shalat yang memang tidak boleh diganti bahasa lain. Karena lafadz bukan bagian dari budaya Arab. Karena secara bahasa, bahasa Arab dan bahasa Al-Quran tidaklah sama. Itulah mengapa dalam percakapan sehari-hari banyak ditemui ketidaksamaan diantara keduanya. Al-Quran dari segi tulisan tetap saja penuh dengan mukjizat BACA DISINI

Berikut ini merupakan video Dr Zakir yang menerangkan bahwa Al-Quran dan Bahasa Arab tidaklah sama.

   

Lalu bagaimana cara megetahui dan membedakan antara Arabisme dan Islamisme?. Tidak mudah memang. Ketika Islam belum hadir bangsa Arab sudah mempunyai budayanya yang kuat. Islam hanya sebatas memperbaiki budaya yang salah. Meski demikian bukan berarti budaya yang salah itu hilang. Tetapi budaya yang negatif juga masih ada. Itulah mengapa jika kita melihat budaya Arab yang negatif di televisi pikiran kita seolah-olah menganggap Islam masih membolehkan budaya tersebut. Padahal tidak sama sekali. Mengapa pikiran kita seperti itu?. Karena budanya tersebut berbau Arab dan kita masih menganggap sesuatu yang berasal dari Arab berhubungan dengan Islam. Bahkan budaya saling serang entah perang atau teror yang merupakan warisan jahiliyah pun masih ada sampai sekarang dimana ini sangat merusak citra Islam. Seperti kita ketahui sepeninggal Nabi Muhammad umat Islam saling berebut kekuasaan dan saling bunuh, bahkan para khalifah juga ikut terbunuh termasuk cucu nabi Muhammad.


Untuk mengkaji bagaimana agar bisa ber-Islam tanpa harus membawa Arabisasi bisa dibaca dari buku karya “Prof. Dr. Jeffrey Lang”, seorang Profesor Matematika dari Universitas Kansas yang masuk Islam. Jeffry Lang menulis sebuah buku yang berjudul “Even Angel Ask” yang berarti “Bahkan Malaikat pun Bertanya”.Judul ini diambil dari salah satu ayat Al-Quran 2: 20  tentang pertanyaan Malaikat kepada Allah sebagai berikut :

".......Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau....."

Buku ini susah dicari untuk dibaca secara online dalam terjemahan bahasa Indonesia. Sedangkan dalam bahasa Inggris bisa anda baca secara lengkap DISINI

Menurut Jeffrey Lang  sikap bertanya merupakan hal yang sangat dianjurkan. Terkadang di beberapa tempat kita tidak boleh bertanya berkaitan dengan agama atau dogma agama dan diantara anda mungkin ada yang dimarahi. 

Banyak kaum muda muslim yang lahir di luar Arab terkadang banyak menghadapi kendala, apakah untuk menjadi Muslim yang baik harus menjadi Arab?. Terkadang banyak muslim yang belum puas jika tidak menggunakan kata seru berbahasa Arab.

Dr. Lang dengan bercanda menceritakan kawannya, yang tertarik dengan Islam dimana sudah menemukan kunci agar diterima penuh dalam masyarakat Islam. Kuncinya yaitu: "Pakai tutup kepala timur tengah, pelihara janggut panjang, katakan alhamdulillah, masyaAllah, assalamualaikum, dll dalam situasi yang tepat."  Sedangkan kawan Dr. Lang yang lain, yang sudah masuk Islam, berkomentar bahwa orang Islam itu tampaknya menduga Tuhan hanya mengerti Bahasa Arab. Kesan bahwa Islam itu agama orang Arab adalah salah satu di antara stereotip yang popular di Barat.

Setelah menjadi Mualaf Dr. Lang melihat bagaimana kaum Muslim  saling mendengki, saling memaki, dan saling memfitnah. Seorang mualaf baru kawan Dr. Lang pernah berkata kepadanya bahwa hiburan favorit orang Islam adalah bergunjing dan menyebarkan fitnah diantara umat Islam. Dengan sedih ia harus menyaksikan kawannya, seorang Muslim barat yang akhirnya pindah ke agama Budha, karena dalam agama Budha ia menemukan pemeluk agama yang mempraktekkan apa yang diajarkan agamanya. Dengan kecewa ia harus melihat di depan matanya bagaimana orang-orang Islam yang saleh itu menjual --Dr. Lang menggunakan kata "melacurkan"-- agamanya untuk tujuan-tujuan duniawi. Tetapi kemungkinan Dr. Lang dan temannya  hanya melihat umat Buddha sebagaimana di Wihara. Dimana umat Buddha tersebut memang taat. Padahal diluar itu banyak juga umat Buddha yang melenceng. Karena di setiap agama pasti punya pemeluk yang beraneka ragam. Jika teman Dr Lang melihat di Pesantren mungkin pemikirannya tentang Islam akan lain.

Maka dari itu delapan tahun setelah bersyahadat Dr. Lang dan keluarganya hijrah ke Arab Saudi untuk menemukan Islam yang benar. Tetapi setelah tinggal disana Dr. Lang merasa tercekik secara ruhaniah. Beliau berkata :
Di negeri yang menyaksikan kebangkitan Nabi Muhammad, yang mengandung dua kota Islam yang paling suci dan Ka'bah yang menjadi arah salat saya, negeri yang didominasi oleh kaum muslimin, dan tanah air bagi kebudayaan yang dipenuhi agama, saya merasa beku secara spiritual, tanpa harapan sama sekali. Di Arab Saudi, Islam berhenti sebagai kekuatan untuk perkembangan kepribadian, dan iman saya segera kehilangan daya hidupnya. Bukan karena negeri itu kekurangan orang-orang saleh dan beragama --sebaliknya, saya banyak berjumpa dengan kaum Muslimin yang ihklas dan taat di sana-- tetapi dalam pandanganku, gerakan Islam di kerajaan Saudi diarahkan menuju masa lalu yang diidealisasikan. Saya tidak bisa menjadi bagian daripadanya; sesuatu pemahaman agama yang didasarkan pada penafsiran Islam, yang secara cepat kehilangan kepercayaanku.
Dr. Lang ingin meninggalkan watak ke-amerika-annya tetapi gagal. Beliau tidak bisa menghindar "no escape from being American". Beliau menemukan pencerahan baru bahwa untuk menjadi Islam tidak harus meninggalkan ke-Amerika-annya (tentu dalam hal yang positif). Lagian menurut Dr. Lang pakaian orang Arab sekarang berbeda dengan pakaian abad 6 di Arab jaman Rasulullah, dimana sebenarnya model pakaian Muslim India lah yang lebih mendekati.

Seorang mantan Komunis yang menjadi Muslim, Dr. Roger Garaudy menegaskan bahwa ada hambatan besar bagi kaum muslimin untuk mengembangkan ijtihad (pemikiran). Hal itu karena keterikatan kepada masa lalu dan taklid kepada Barat. 

Yang pertama melihat masa lalu sebagai rujukan ideal. Pemikiran Islam terdahulu, hasil ijtihad orang-orang Islam ratusan tahun yang lalu dianggap begitu sakral sehingga sebagian kaum Muslim dengan bangga menyebut dirinya Salafi (Secara harafiah berarti merujuk kepada yang terdahulu, masa lalu, masa yang sudah lewat) atau sejenisnya. Karena ratusan tahun pertama sejarah Islam bergabung dengan sejarah Arab, maka Islam berbau  ke-Arab-an. Salafi menekankan ajaran konservatif dimana berusaha hidup dengan cara lama (Arab dijaman Rasul). Sehingga bagi anda yang mengikuti ajaran Salafi akan lebih merasakan benturan dengan peradaban sekarang. Karena anda hidup dengan nuansa lama ditengah jaman yang semakin maju dan berubah. Dari sinilah muncul anggapan bahwa menjadi Muslim adalah menjadi orang Arab. Mereka tidak bisa memisahkan antara kebudayaan Arab dengan ajaran Islam. Islam yang melintas ruang dan waktu sekarang dibatasi pada ruang Arab dan Waktu yang lalu. 

Yang kedua "Liberal", Kelompok ini melihat Barat sebagai puncak peradaban. Mereka kemudian membungkus kebudayaan Barat dengan kemasan Islam. 

Seperti halnya kaum fundamentalis yang mengekor Arab dan kaum Liberal yang mengekor Barat, keduanya terjebak dalam hal yang sama yaitu sulitnya memisahkan Islam dan Arab. Dan agar tidak jatuh ke salah satunya diperlukan sikap kritis setiap saat.

Mungkin benar adanya pendapat yang mengatakan Amerika Islamnya banyak tetapi Muslimnya sedikit; di Arab Saudi, Muslimnya banyak tapi Islamnya sedikit. Hal ini terjadi karena di Arab pergerakan Islam sudah tidak seperti Islam dijaman keemasan kekalifaan Cordoba atau Bagdad, tetapi sudah seperti gerakan kerahiban  Buddha atau kepausan Katolik

Kesimpulan : memisahkan Islam dengan Arab lebih dilihat dari segi kebudayaan, bahwa kebudayaan Arab tidak selalu identik dengan Islam